Rabu, 08 April 2015

Dinamika Pemerintahan Orde Baru

Dinamika Pemerintahan Orde Baru
A. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Orde Baru
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.
Surat Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat perintah yang beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966 ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna menjamin keamanan dan ketertiban negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S/PKI. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI negara dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Sebagai negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai menyiapkan menghadapi pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden Soeharto dengan surat keputusan nomor 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum sudah ada dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu adalah (1) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3) Nahdlatul Ulama; (4) Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai Katolik; (6) Partai Kresten Indonesia; (7) Partai Muslimin Indonesia; (8) Partai Nasional Indonesia; (9) Partai Syarikat Islam Indonesia; dan (10) organsiasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanankan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupakan melalui program pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang kakan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU
Berkuasanya Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa Indonesia melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan Orde Baru berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga langkah-langkah yang diambil adalah mencapai stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk hasil Sidang Umum IV MPRS yang mengambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru.
Kabinet baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Tugas ini yang dikelak terkenal dengan sebutan ”Dwi Darma Kabinet Ampera”. Sedangkan program kerja terkenal dengan sebutan Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: (1) memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan; (2) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No. XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada 21 Maret 1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma dan Catur Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan antar lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945
C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU
1. Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi, menyelamatkan keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan rakyat. Dengan membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966 dan tingkat inflasi 650 % setahun membuat pemerintah tidak dapat melaksanakan pembangunan dengan segera, tetapi harus didahulukan dengan melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Kemudian MPRS menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah secara bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan program jangka pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi; (2) pencukupan kebutuhan pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4) peningkaan kegiatan ekspor.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting pada bulan Oktober 1966 yang memuat pokok usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang berimbang untuk menghilangkan salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam anggaran belanja; (2) pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif meliputi pangan, ekspor, prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran utang-utang luar negeri serta usaha untuk mendapatkan kredit baru; (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan pada luar negeri untuk membuka alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.
2. Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu kebijakan stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan tujuan menertibkan penggunaan keuangan negara.
Prioritas utama yang dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak negara dan menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah dicapai oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang negara sebesar US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp. 494.947.761,37; (2) dapat mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3) berhasil pula mengembalikan perak seberat 100 kg.
Tindakan pemerintah untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1) mengadakan operasi pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai sejauhmana perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak; (2) penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk pengeluaran yang konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi perusahaan-perusahaan; (3) kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan. Kredit ekspor diberikan apabila bank yakin akan terlangsungnya ekspor.
Usaha mencukupi kebutuhan pangan dilakukan pemerintah dengan memperhatikan peningkatan produksi pangan di dalam negeri khususnya beras, untuk meningkatkan produksi beras diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal (inmas) yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul seperti jenis padi PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan merupakan keharusan serta penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi pangan pada tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan bea masuk untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 % menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Pada tanggal 19-30 September 1966 di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan Indonesia dengan para negara kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat, Belanda, Amerika Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini pemerintah Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang, tetapi perlu untuk mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan sebagainya agar keadaan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Para negara kreditor menanggapi dengan serius apa yang telah dikemukakan pemerintah Indonesia maka perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan lagi dalam pertemuan di Paris-Perancis yang menghasilkan: (1) utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda pembayarannya dengan syarat yang sama lunaknya dengan utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968. Perundingan antara Indonesia dengan para kreditor itu kemudian dikenal dengan istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya IGGI (Inter Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan pertemuan Paris Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan memberi bantuan dengan syarat lunak. Hasilnya memperoleh bantuan untuk melangsungkan pembangunan dan penangguhan serta memberi keringanan syarat-syarat pembayaran kembali utang-utang peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman dari luar negeri digunakan untuk tiga macam hal yang disebut dengan Bukti Ekspor (BE), yaitu : (1) impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3) pangan. Bukti Ekspor dapat digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku cadang, pupuk, dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan devisa pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif. Bukti Ekspor yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu dijual oleh pemerintah dan hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja Pemerintah dan kemudian dipakai untuk anggaran pembangunan. Sehingga anggaran pembangunan dalam bentuk rupiah itu berasal dari penjualan barang-barang konsumtif. Dengan demikian bantuan luar negeri dismpaing untuk mengimpor barang-barang yang perlu dan hasil penjualannya dipakai pula untuk membiayai pembangunan pula.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar