Dinamika Pemerintahan Orde Baru
A. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Orde Baru
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.
Surat
Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu
pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat
perintah yang beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966
ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama
presiden untuk mengambil tindakan guna menjamin keamanan dan ketertiban
negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2.
Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam
G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir.
Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman,
(7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10)
A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi,
(13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah
yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet
Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang
dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17
Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil
membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai
Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status
keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora
mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri
yang diduga terlibat G-30-S/PKI. Namun tuntutan terhadap pemerintah
untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi
mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan
berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato
pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan
MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu
tidak diterima MPRS.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan
politik nasional semakin kompleks. Melalui Tap MPRS No.
XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera.
Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera
dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang
ditandatangani Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang.
Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet
Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan
kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan
suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok
kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas
politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak
pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun,
Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki
kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui
Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat
Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor :
XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mencabut
kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik
kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya
sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang
supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden
menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret
1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS
Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Masyarakat luas yang terdiri dari
berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa,
perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak
membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan
para pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap
negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka
yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini
kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan
surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba
tidak menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI
negara dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan
Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa tersebut.
Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok
yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan
Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian
dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor
XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden
Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik
Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan
sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara
konstitusional.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun
demikian kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan
demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk
mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi
terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan
rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam
demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan
dilajutkan pada 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung
dalam Front Pancasila berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang
menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G30S/PKI yang
dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI
beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3)
Penurunan harga-harga barang
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut
merupakan keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan
bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang kongret.
Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan sebagai berikut:
(1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang
membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor
IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran
Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor
XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan
Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.
Usaha
penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran
anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak
demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan
golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan
kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan
partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970
dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai
politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu:
(1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik
PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan
Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin
Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti
organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan,
organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan
Karya.
Sebagai negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai
menyiapkan menghadapi pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden
Soeharto dengan surat keputusan nomor 43 telah menetapkan
organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum dan
anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut
pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum
sudah ada dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu
adalah (1) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3)
Nahdlatul Ulama; (4) Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai
Katolik; (6) Partai Kresten Indonesia; (7) Partai Muslimin Indonesia;
(8) Partai Nasional Indonesia; (9) Partai Syarikat Islam Indonesia; dan
(10) organsiasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilihan
umum adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan
perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang
didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik
bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanankan amanat masyarakat maka
pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupakan melalui
program pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang.
Pembangunan jangka pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun
(Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai
tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian
pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan
nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun
1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara
(GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan
lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program
kongkrit yang kakan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam
repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksaan pembangunan
jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat
itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek
kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi
bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II
(1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga
konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi
Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang
menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2)
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang
sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila
tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak
Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka
pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1)
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang,
dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan
kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh
wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU
Berkuasanya
Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa
Indonesia melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan
Orde Baru berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga langkah-langkah yang diambil adalah mencapai
stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk hasil Sidang Umum IV MPRS
yang mengambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku
pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah ditingkatkan menjadi
ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru.
Kabinet
baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet
Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan
pembangunan nasional. Tugas ini yang dikelak terkenal dengan sebutan
”Dwi Darma Kabinet Ampera”. Sedangkan program kerja terkenal dengan
sebutan Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: (1) memperbaiki kehidupan
rakyat terutama dibidang sandang dan pangan; (2) melaksanakan pemilihan
umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik luar negeri
yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No.
XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada 21 Maret
1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan
kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma dan
Catur Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah
dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan
antar lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945
C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU
1. Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada
masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan
untuk menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi,
menyelamatkan keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan
rakyat. Dengan membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966
dan tingkat inflasi 650 % setahun membuat pemerintah tidak dapat
melaksanakan pembangunan dengan segera, tetapi harus didahulukan dengan
melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Kemudian MPRS
menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah secara
bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program
pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan
program jangka pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi;
(2) pencukupan kebutuhan pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4)
peningkaan kegiatan ekspor.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan
beberapa peraturan penting pada bulan Oktober 1966 yang memuat pokok
usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang berimbang untuk menghilangkan
salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam anggaran belanja; (2)
pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif meliputi
pangan, ekspor, prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran
utang-utang luar negeri serta usaha untuk mendapatkan kredit baru; (4)
penanaman modal asing guna memberi kesempatan pada luar negeri untuk
membuka alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan membantu
usaha peningkatan pendapatan nasional.
2. Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan
yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu
kebijakan stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan
tujuan menertibkan penggunaan keuangan negara.
Prioritas utama yang
dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak negara dan
menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah
dicapai oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang
negara sebesar US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp.
494.947.761,37; (2) dapat mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3)
berhasil pula mengembalikan perak seberat 100 kg.
Tindakan pemerintah
untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1) mengadakan operasi
pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai sejauhmana
perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak;
(2) penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk
pengeluaran yang konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi
perusahaan-perusahaan; (3) kredit bank dibatasi dan kredit impor
dihapuskan. Kredit ekspor diberikan apabila bank yakin akan
terlangsungnya ekspor.
Usaha mencukupi kebutuhan pangan dilakukan
pemerintah dengan memperhatikan peningkatan produksi pangan di dalam
negeri khususnya beras, untuk meningkatkan produksi beras
diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal (inmas)
yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul
seperti jenis padi PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan
merupakan keharusan serta penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak
dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan
kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi
pangan pada tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan
dalam penggunaan bea masuk untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan
untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri.
Kemajuan
ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 %
menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan
mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama
yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju
inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya
situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu
pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda
pembayaran utang-utang tersebut.
Pada tanggal 19-30 September 1966
di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan Indonesia dengan para negara
kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat, Belanda, Amerika
Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini pemerintah
Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang,
tetapi perlu untuk mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan
sebagainya agar keadaan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi.
Para negara kreditor menanggapi dengan serius apa yang telah dikemukakan
pemerintah Indonesia maka perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan lagi
dalam pertemuan di Paris-Perancis yang menghasilkan: (1) utang Indonesia
yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun
1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970
dipertimbangkan untuk ditunda pembayarannya dengan syarat yang sama
lunaknya dengan utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968.
Perundingan antara Indonesia dengan para kreditor itu kemudian dikenal
dengan istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya IGGI (Inter
Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan pertemuan Paris
Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota
Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan
kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta
kemungkinan-kemungkinan memberi bantuan dengan syarat lunak. Hasilnya
memperoleh bantuan untuk melangsungkan pembangunan dan penangguhan serta
memberi keringanan syarat-syarat pembayaran kembali utang-utang
peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman dari luar negeri digunakan
untuk tiga macam hal yang disebut dengan Bukti Ekspor (BE), yaitu : (1)
impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3) pangan. Bukti Ekspor dapat
digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku cadang, pupuk,
dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan devisa
pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif.
Bukti Ekspor yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu
dijual oleh pemerintah dan hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja
Pemerintah dan kemudian dipakai untuk anggaran pembangunan. Sehingga
anggaran pembangunan dalam bentuk rupiah itu berasal dari penjualan
barang-barang konsumtif. Dengan demikian bantuan luar negeri dismpaing
untuk mengimpor barang-barang yang perlu dan hasil penjualannya dipakai
pula untuk membiayai pembangunan pula.