Senin, 13 April 2015

Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit

Dalam sejarah Indonesia Kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang besar yang disegani oleh banyak bangsa asing. Namun sejarah Majapahit pada hakikatnya menerima banyak unsur politis, kebudayaan, sosial, ekonomi dari Kerajaan Singasari sehingga pembahasan Kerajaan Majapahit tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Singasari.

A. Sumbcr Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal dari beberapa sumber, yakni:
Prasasti Butak (1294 M) Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia naik tahta. Prasasti ini memuat peristiwa-peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan.
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
Kitab Pararaton Kitab ini menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
Kitab Negarakertagama Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke Jawa Timur.

B. Kehidupan Politik
Sebagaimana telah diuraikan bahwa Raja Kertanegara wafat pada tahun 1292 M, ketika itu pusat Kerajaan Singasari diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dalam serangan itu Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil meloloskan diri dan lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari Bupati Arya Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja itu, Raden Wijaya diterima dan diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Tarik. Daerah itu kemudian dibangun kembali menjadi sebuah perkampungan dan digunakan oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan terhadap Kediri.

Kedatangan pasukan China-Mongol yang ingin menaklukkan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri). Raden Wijaya berhasil menipu pasukan-pasukan China, sehingga mereka rela bergabung dengan Raden Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang hingga akhimya Kerajaan Kediri dapat dihancurkan.

Kemenangan itu membuat tentara China Mongol bergembira. Saat tentara China Mongol merayakan pesta kemenangan, Raden Wijaya menyerang mereka. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang dilakukan oleh pasukan Raden Wijaya, membuat tentara China Mongol kalang kabut. Banyak yang terbunuh, sedangkan yang selamat melarikan diri.

Dengan lenyapnya pasukan China-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit sudah dianggap berdiri. Walaupun demikian secara resmi sistem pemerintahan Kerajaan Majapahit baru berjalan setahun kemudian, ketika Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

Raden Wijaya Raden Wijaya memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1293-1309 M. Raden Wijaya sempat memperistri keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Pada awal pemerintahannya terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi karena rasa tidak puas atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi, pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan.

Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 M dan didharmakan pada dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Buddha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi Simping (dekat Blitar).

Raja Jayanegara Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara (Raja Jayanegara) pada tahun 1309 M.

Jayanegara memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan juga dikenal sebagai suatu masa yang suram dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).

Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke Desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan Bhayangkara (pengawal pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari menetap di Desa Bedander (tempat ini belum dapat ditentukan di mana letaknya) maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana.

Setelah diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawannya dapat dilenyapkan.

Raja Jayanegara dapat kembali lagi ke istana dan menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung diangkat menjadi patih di Kahuripan (1319-1321 M), tidak lama kemudian diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330 M).

Raja Tribhuwanatunggadewi. Ketika raja Jayanegara meninggal dengan tidak meninggalkan seorang putra mahkota maka tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun, karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi.

Tribhuwanatunggadewi memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). Pimpinan pemberontakan tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama daerah yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan Adityawarman.

Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Saat upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah panji Kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, Gajah Mada menjadi pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. la mempunyai wewenang untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.

Raja Hayam Wuruk Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari pernikahan Tribhuwanatunggadewi dengan Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan luas. Kebijakan politiknya banyak memiliki kesamaan dengan politik Gajah Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit.

Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah satu tiang utama Kerajaan Majapahit dalam mencapai kejayaan-nya. Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.

Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M. Peristiwa itu berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan beristirahat di Lapangan Bubat dekat pintu gerbang Majapahit.

Selanjutnya, timbul perselisihan paham antara Gajah Mada dan pimpinan laskar Pajajaran. Gajah Mada ingin menggunakan kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan bukan sebagai permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena dianggap merendahkan derajat. Akhirnya, pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya Sri Baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.
Akibat peristiwa itu politik Gajah Mada menemui kegagalan, karena dengan adanya Peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan, Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara terpisah dari Majapahit.

Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan untuk memerintah kerajaan. Setelah Gajah Mada wafat. Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak ada satu orang pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri di bawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya, Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Keadaan Kerajaan Majapahit bertambah suram dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pambantu yang cakap. Kemun-duran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhiriah masa kejayaan Majapahit.

Wikrama Wardhana Raja Hayam Wuruk digantikan oleh putrinya yang ber-nama Kusuma Wardhani. Putri ini menikah dengan Wikrama Wardhana (kemenakan Hayam Wuruk). Wikrama Wardhana memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1389-1429 M. Tetapi Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra (yang lahir dari selir) bemama Wirabhumi. Wirabhumi diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa, yaitu di daerah Blambangan sekarang.

Pada mulanya antara Wikrama Wardhana dan Wirabhumi terjalin suatu hubungan yang baik. Tetapi pada tahun 1400 M, Kusumawardhani wafat, sementara Wikrama Wardhana mempunyai maksud untuk menjadi bhiksu. Hal ini menyebabkan kekosongan dalam pemerintahan Majapahit. Wirabhumi memanfaatkan kesempatan mi untuk merebut kekuasaan di Majapahit, sehingga menimbulkan Perang Paregreg antara tahun 1401-1406 M. Dalam perang ini Wirabhumi dapat dibunuh. Meskipun Perang Paregreg telah berakhir, keadaan Kerajaan Majapahit makin lemah. Satu persatu daerah kekuasaan Majapahit melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Seiring dengan itu, muncul kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir.

Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak). Pada waktu itu disebutkan bahwa raja yang memerintah di Majapahit adalah Brawijaya V. Brawijaya V merupakan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, karena setelah wafatnya, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan (sekitar awal abad ke-16 M).
C. Kemunduran Kerajaan Majapahit
Meletusnya Perang Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan Suhita menjadi raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam Perang Paregreg itu, Wirabhumi berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar dari cerita Damarwulan - Minakdjinggo).

Setelah pemerintahan Suhita, terdapat beberapa raja dari Kerajaan Majapahit yang tidak begitu besar kekuasaannya, seperti: Raja Kertawijaya (1447-1451 M), Raja Rajasa Wardhana (1451-1453 M), Raja Purwawisesa (1456-1466 M), Raja Simba Wikramawardhana (1466-1478).

Penyebab kemunduran:
Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri.

Peninggalan kerajaan Majapahit:
Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit.

Dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer.

Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa.

Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu.

Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.

Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.

Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.

Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo.

Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga.

Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ”

Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar