Perancang Lambang Negara Indonesia
Perancang lambang negara
Indonesia berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat
dengan nama Garuda Pancasila ternyata bernama Syarif Abdul Hamid
Alkadrie yang punya gelar Sultan Hamid II putra sulung dari Sultan
Syarif Muhammadi Alkadrie dari Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie lahir di Pontianak pada tanggal 12 Juli
1913 merupakan darah campuran Indonesia – Arab.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger).
Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS (Europese Legere School) atau lebih dikenal dengan Sekolah Belanda yang ditujukan untuk mengembangkan dan mendidik serta memperkuat kesadaran nasional dikalangan keturunan Belanda dan kebanyakan Indo-Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah dasar ini juga anak Indonesia dan Tionghoa walaupun jumlahnya kecil. Dalam sekolah ini diajarkan ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sejarah umum, matematika, pertanian, menggambar, pendidikan jasmani, dan pekerjaan tangan. Penggunaan bahasa asing dalam sekolah ini memang dimaksudkan agar lulusannya bisa memasuki sekolah menengah yang bernama HBS (Hogere Burger School) yang memang diperuntukkan bagi murid-murid Belanda dan golongan baik yang sanggup menyekolahkan anaknya ke ELS (Europese Legere School) kelas satu. Sedangkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh ELS (Europese Legere School) di Sukabumi, Pontinak, Yogyakarta, dan Bandung.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dilanjutkan ke sekolah menengah HBS (Hogere Burger School) di kota Bandung selama satu tahun, dan sekolah THS di Bandung walau tidak sampai tamat. Kemudian melanjutkan ke sekolah militer bernama KMA di kota Breda Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda (Koeningklik Netherland Indie Leger).
Pada saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di tahun 1942 Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditahan Jepang 10 Maret 1942 akhirnya dibebaskan kembali ketika Jepang menyerah kepada Sekutu selanjutnya mendapat kenaikan pangkat kolonel. Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan ternyata Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat menjadi Sultan Pontianak pada tanggal 29 Oktober 1945 karena merupakan putra sulung pewaris Kesultanan Pontianak untuk menggantikan ayahandanya kemudian diberi gelar Sultan Hamid II.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus sampai dengan 2 September 1949 yang diantara isi penyerahan itu Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat maka Syarif Abdul Hamid Alkadrie diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Portopolio. Sehubungan dengan jabatan selaku menteri negara tersebut ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Presiden Soekarno berpesan hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia, dengan merangkum Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada 10 Januari 1950 Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Portopolio Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) dengan susunan panitia teknis sebagai berikut yang diketuai oleh Mohammad Yamin dengan didampingi anggota Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeu Purbatjaraka. Tugasnya menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Panitia Lencana Negara berhasil memilih dua rancangan terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) adalah rancangan Sultan Hamid II. Untuk itulah kemudian Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Sultan Hamid II) kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang kemudian disingkat dengan nama Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara itu untuk pertama kalinya kepada khalayak umum di Hotel Des Indis Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara yang diumumkan itu terus diupayakan, kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang awalnya gundul menjadi berjambul, dan bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Kemudian Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan terakhir ini kemudian menjadi lembaran resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
Tokoh dan juga seorang sultan yang berjasa terhadap bangsa Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Maret 1978 dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang Kalimantan Barat.