Budaya dan Tradisi Seblang
Mitos Antara Seblang Dan Dewi Sri
Tari
Seblang bukanlah satu-satunya tari tradisional Indonesia yang diadakan
sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuburan tanaman yang mereka peroleh.
Dalam budaya Jawa-Mataraman dikenal yang namanya upacara Bersih Desa.
Pada budaya Jawa non-Mataraman, dikenal pula upacara Sedekah Bumi. Di
Bugis-Makassar, ada upacara bernama Mappalili. Dalam budaya Suku Dayak
Kenyah yang berada di Kalimantan Timur ada pula upacara kesuburan yang
disebut Lepeq Majau. Di Bali ada upacara Mungkah, Mendak Sari atau Muat
Emping Ngaturan Sari.
Simbol kesuburan dilambangkan dengan
sesosok dewi cantik jelita bernama Dewi Sri. Lain daerah, lain pula nama
simbol padi dan kesuburannya. Dalam budaya Jawa, ada simbol yang
bernama Nini Thowok. Pada budaya Sunda, dikenal dewi bernama Nyi Pohaci
Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati. Pada budaya Dayak, simbol padi dan
kesuburan dilambangkan dengan penokohan Bini Kabungsuan.
Tokoh
Dewi Sri dalam budaya kesuburan adalah sakral. Folklore tiap daerah pun
mempunyai versi yang berbeda tentang Dewi ini. Dalam folklore Sunda,
Dewi Sri lahir dari sebutir telur dari air mata seorang Dewa cacat
bernama Dewa Anta. Konon, saking cantiknya sang Dewi, raja para Dewa;
Bathara Guru, jatuh cinta dan ingin mengawininya. Namun niat itu
digagalkan oleh dewa lain dengan cara membunuh Dewi Sri dan
menguburkannya di bumi. Beberapa hari kemudian, dari kuburannya muncul
beberapa jenis tanaman pangan. Dari bagian kepala, munculah kelapa. Dari
bagian mata, tumbuh padi biasa. Dari dadanya, muncullah padi ketan.
Dari kemaluannya tumbuh pohon enau dan dari bagian lain muncullah
rerumputan. Kejadian di daerah lain, hampir sama, yakni sosok sentral
wanita meninggal. Lalu dari kuburannya muncul tanaman-tanaman pangan.
Bukan
hanya di Indonesia, Curt Sarch sang penulis buku World History of the
Dance mengungkapkan bahwa jauh sebelum Masehi, para Shaman telah
menciptakan hujan dengan ritual tari gembira. Kalau anda penasaran
seperti apa ghost dance atau rain dance ini, tengoklah sosok Jim
Morrison saat sedang tampil di atas panggung dan dalam keadaan trance.
Morrison yang terobsesi dengan budaya Indian akan menari-nari liar.
Itulah ghost dance.
Di suku Amazon , ada tari bernama Tari
Itogapuk. Tari ini membentuk gerakan laki-laki dan perempuan yang saling
bersatu, melingkari sebuah tanaman, saling menempelkan pinggul lalu
sang penari perempuan digendong untuk kemudian dibawa pergi.
Ben
Suharto, sang penulis buku Tayub; Pertunjukan dan Ritus Kesuburan,
mengungkapkan bahwa tari ritual kesuburan selalu berusaha mencapai suatu
sikap mistis tentang seksual dengan cara mendekatkan manusia berbeda
kelamin atau dengan cara saling melingkari.
Tari Seblang pun,
melambangkan kesuburan dengan simbol mahkota yang dipakai oleh sang
penari yang dihias dengan kembang aneka warna yang melambangkan
kesuburan. Satu kesimpulan yang bisa ditarik dari sini adalah betapa
wanita merupakan sosok penting dalam mitos kesuburan, baik kesuburan
tanaman maupun kesuburan reproduksi. Seperti terdapat pada petikan
dari sebuah naskah kuno bernama Atharvaveda yang berbunyi "Perempuan
datang sebagai lahan hidup; taburkanlah benih ke dalamnya, oh para
lelaki."
Ritual Seblang
Pada
awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian berdasarkan
mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu yang
banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau.
Menurut
cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi , sekarang
hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah,
Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olihsari ( Olehsari ). Walaupun ada
beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada dasarnya berintikan
sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui wadag seorang
perempuan.
Upacara Seblang biasa dilakukan di pedesaan, konon
pada abad ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang bangsawan
Blambangan yang bernama LOKENTO. Tetapi Seblang yang dilakukan di
Pendopo Kadipaten dan dikenal orang dengan nama "Seblang Lokento" itu
kini telah musnah.
Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih
desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram.
Ritual ini sama seperti ritual Sintren di wilayah Cirebon, Jaran Kepang,
dan Sanghyang di Pulau Bali.
Penyelenggaraan tari Seblang di dua
desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan
satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang
bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Para
penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya
penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa
Olihsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di
Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah
mati haid (menopause).
Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi
yang sangat tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun,
catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah
Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal
tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah
atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan seblang
dalam usia kanak-kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi
penari Gandrung.
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang
dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya
oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh
(nampan anyaman dari bambu). Sang dukun mengasapi sang penari dengan
asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan
(taksadarkan diri atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda
jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si seblang yang
sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan
mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang
dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa
lama menari, kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke
arah penonton, penonton yang terkena selendang tersebut harus mau menari
bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh
Seblang sampai mau menari.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri
dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron.
Sedangkan di Olihsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek
musikal. Dari segi busana, penari Seblang di Olihsari dan Bakungan
mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Pada
penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah
pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari,
sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil
dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca
kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok.
Pada penari seblang
wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang
dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai
terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak
sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik, ritual
Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga
setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang
penari seblang ini.
Upacara kesenian ritual Seblang adalah salah satu
bentuk tradisi tari sakral yang bermotivasikan agraris spiritual.
Bertujuan untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan
tanah atau mengusir penyakit. Dengan mengadakan Seblang, masyarakat
setempat akan terhindar dari malapetaka.
Seblang Bakungan
History
Warga
Kelurahan Bakungan sudah lama menggelar Ritual Seblang, agar dijauhkan
dari segala marabahaya, mereka menggelar ritual seblang semalam suntuk,
yakni, ritual tarian yang diperankan seorang wanita tua berusia lanjut.
Tradisi ini sudah ada sejak 316 tahun silam.
Konon, mereka yang
membuka perkampungan Bakungan berasal dari Bali. Bakungan adalah salah
satu nama tumbuhan yang banyak hidup di tempat itu. Dahulu, Bakungan
adalah sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi tanaman bakung.
'Seblang'
berasal dari bahasa Using kuno yang berarti hilangnya segala
permasalahan dan kesusahan. Upacara ini diawali selamatan massal yang
dilakukan sesaat setelah matahari terbenam. Seluruh warga duduk di depan
rumah masing-masing sambil mempersembahkan tumpeng yang terdiri atas
beberapa jenis makanan khas. Di antaranya, pecel ayam, yaitu daging ayam
yang dicampur urapan kelapa muda. Sehari sebelumnya, beberapa tokoh
masyarakat melakukan ritual minta izin di makam buyut Witri. Dia
diyakini sebagai leluhur masyarakat kelurahan Bakungan. Di tempat ini,
warga meminta doa sambil mengambil air suci. Air ini nantinya digunakan
penari seblang untuk penyucian dan disebarkan kepada seluruh warga
kampung.
Sebelum santap tumpeng, dukun membacakan doa-doa khusus
menggunakan bahasa Using. Isinya meminta seluruh penguasa jagat
memberikan kerahayuan kepada seluruh masyarakat. Suasana terasa mistis
ketika aroma kemenyan yang ditaburkan dukun menyebar ke seluruh arena
seblang. Setelah itu, ketua adat memukul kentongan berkali-kali sebagai
pertanda selesainya upacara tumpengan. Warga menyambut dengan pekikan
ayat-ayat suci Alquran. Setelah itu seluruh warga menyantap tumpengnya
masing-masing. Selama selamatan, seluruh anggota keluarga berkumpul di
halaman rumahnya.
Sebelumnya, warga laki-laki bersama para pemuda
berjalan keliling desa sambil membawa obor. Ritual ini dimaksudkan
untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggu desa. Mereka
mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran. Sekitar pukul 19.30, ritual
seblang dimulai. Acara ini diawali memanggil roh yang akan masuk ke
dalam tubuh penari. Setelah diberi mantra khusus, penari kesurupan.
Penari ini keturunan asli mbah buyut Witri yang diyakini leluhur warga
Bakungan, kata sesepuh adat Bakungan, Yalin.
Prosesi Ritual Seblang Bakungan
Selayaknya
ritual lain, secara detail Tari Seblang Bakungan pun memiliki beberapa
tahapan sebelum mencapai ritual puncak. Inilah urutan ritual yang harus
dijalankan :
1. Penari Seblang dirias dan mengenakan busana
tarinya. Pada bagian tubuh dan wajahnya, dibaluri sejenis tepung batu
halus berwarna kuning (biasa disebut atal ) yang dicampur dengan air.
Lalu sang penari pergi berjalan menuju arena dengan beberapa penyanyi
perempuan dan pemilik hajat.
2. Pada tahapan kedua ini, sang
penari dikenakan mahkota yang dihias beraneka bunga dengan beragam
warna. Tak lupa, sang penari memegang nyiru dengan tangannya. Lalu ada
seorang perempuan tua yang menutup mata sang penari dengan tangannya.
Setelah itu ada sang pawang yang membakar dupa serta merapal mantra
untuk memanggil dhanyang (roh penjaga desa) yang dikenal dengan nama
Buyut Kethut, Buyut Jalil, dan Buyut Rasio agar memberkahi pertunjukan
Seblang ini. Saat nyiru yang dipegang penari Seblang itu jatuh, maka dia
sudah mulai kejiman alias kesurupan.
3. Tahap ketiga, adalah
tahap pemilihan lagu untuk mengiringi sang penari. Ada kalanya, lagu
yang dimainkan tidak disetujui oleh sang penari yang sudah trance ini.
Kalau sang penari setuju, maka ia akan berdiri dan menari dengan gemulai
berlawanan dengan arah jarum jam. Kalau tidak setuju, dia tidak mau
berdiri serta memberi isyarat agar sang pengiring memainkan lagu lain.
Kadang kala, disaat jeda pemilihan lagu dan sang penari beristirahat,
disisipkan pula ritual sabung ayam.
4. Setelah ritual tari
berhenti sejenak, maka ada beberapa gadis cantik dengan kebaya memegang
kembang dirma yakni bunga beraneka warna yang dipercayai bisa
mendatangkan berkah. Lalu bunga ini diberikan pada penonton, lalu
penonton memberikan derma uang ala kadarnya.
5. Tahapan ini
disebut tundik dan beberapa menyebutnya Ngibing, yakni saat dimana sang
penari mengajak penonton untuk ikut menari. Cara memilih penontonnya
unik, yakni sang penari Seblang melemparkan sampur pada penonton. Siapa
yang ketiban sampur itu harus menari bersama penari Seblang. Suasana
menjadi ramai dan penuh tawa saat penonton lari berhamburan menghindari
sampur yang dilempar itu.
6. Inilah titik puncak dari upacara
Seblang. Saat sang pengiring memainkan lagu Candradewi yang dimainkan
dengan cepat, sang penari juga berputar dengan cepat. Lalu sang penari
rebah dan tergeletak menelungkup. Saat ini petugas kembali meminta derma
dari para penonton.
Seusai pertunjukkan, ada satu ritual lain
yang tak afdol rasanya jika tak diikuti. Yakni acara berebutan sesajen
hasil pertanian yang digantung di beberapa bagian kantor balai desa. Ada
durian, padi, alpukat, sirsak, pisang hingga kelapa.
Seblang Olehsari
History
Menurut
catatan di buku historis di Desa Olehsari, Seblang pernah tidak
diselenggarakan antara tahun 1943 s/d 1956. Bagi masyarakat Olehsari
ketiadaan acara Seblang seperti merasa kehilangan sesuatu. Pageblug
terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit terhadap ternak dan
manusia tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara tersebut dimulai
lagi. Konon suasana jadi pulih.
Prosesi Ritual Seblang Olehsari
Masih
dalam suasana Lebaran, di Desa Olehsari (sekitar 5 km sebelah barat
Kota Banyuwangi) diselengarakan acara adat tahunan Seblang. sebenarnya
tak begitu sulit mencari lokasi karena arena, karena dari kejauhan sudah
terdengar musik gamelan yang "ngelangut' sekakan-akan memanggil siapa
saja untuk datang.
Walaupun prosesi dilaksanakan pada siang yang
cukup terik, disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan
mengikuti acara Seblang. Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu
dibuka jalur yang disediakan untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga
disediakan kursi-kursi kosong. Siapapun tak berani menginjak jalur atau
menduduki kursi tersebut, karena untuk tamu-tamu gaib.
Di pusat
upacara tampak sebuah tonggak berupa tongkat panjang yang ditempel
batang tebu segar. Disisi tonggak tertanam kokoh sebuah Payung Agung.
Selain berfungsi sebagai sebagai tempat Pemain Musik, sepertinya juga
merupakan ekspresi Yoni, yaitu sentral kegiatan upacara yang bersifat
metafisic tersebut.
Di sebelah barat, tak kurang 8 (delapan)
orang wanita setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden)
duduk di sebuah gubuk tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang.
Pada gubuk yang beratapkan daun nyiur tersebut, bergelantungan puluhan
buah-buahan dan Poro-Bungkil (hasil bumi) yang merupakan simbolis
kemakmuran desa.
Tak lama muncullah seorang gadis yang berpakaian
aneh. Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda dituntun
oleh seorang wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang
menuju ke pusat kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari
seblang itu pelan-pelan dituntun dan didudukkan di dekat "prapen" empat
asap kemenyan mengepul...
Seorang dukun atau pawang paling tua,
Mbah Asnan (70 tahun), tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas
pedupaan seraya berkomat-kamit mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil
tersebut disorongkan ke arah Salwati. Saat Salwati menerima Nyiru itu,
seketika itu iapun terkulai lemas tak sadarkan diri.
Diiringi
oleh para pawang sebanyak 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) pria dan
2 (dua) wanita kesemuanya berusia lanjut. Salwati menjadi 'kejimen'
(baca : in-trance) dan menari gontai dengan indahnya. Terdengar mengalun
gending pembuka 'Seblang Lokento' Salwati terus menari mengelilingi
arena yang luasnya 7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung. "Seblang yo
Lokento sing dadi encakono ..." berulang-ulang dinyanyikan oleh para
pesinden dengan antusias penuh riang.
Dengan mata terpejam,penari
seblang sesekali seperti mengajak bercanda para penonton dengan
mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika itu pula penonton memberi
semangat dengan seloroh-seloroh bernada canda.Sang penaripun menyambut
canda manis itu dengan goyangan pinggulnya yang indah.
Disaat
rombongan koor mendendangkan tembang 'Kembang Dirmo' saat itu pula
susunan bunga-bungaan aneka warna yang terdiri dari 5 (lima)sampai 7
(tujuh) kembang yang disusun dalam tusukan lidi mirip sate, dijajakan
kepada penonton. Maka berebutlah para muda mudi membelinya. Karena
kabarnya cukup bertuah untuk urusan cinta asmara.Adegan lain yang juga
tak kurang menarik adalah atraksi 'Ngibing'. Ini terjadi di hari ketiga
dan seterusnya dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari
seblang oleh para pawang tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah
meja yang tersedia,sehingga tampak lebih tinggi dari penonton.
Mendadak penari tersebut melemparkan sampur ke arah penonton. Siapa saja
yang tertimpa selendang (biasanya laki-laki), haruslah bersedia menari
bersama dengan sang penari Seblang. Pada acara yang cukup atraktif
tersebut, begitu seseorang selesai 'ngibing' dengan penari Seblang, maka
dliemparlah berulang kepada yang lain. Sehingga berkesan bergiliran.
Anehnya
saat senja turun, terjadi adegan yang cukup mengharukan hati. Penari
Seblang tampak memperlihatakan kegirangannya tatkala gending "Chondro
Dewi" dinyanyikan. Dengan suka citanya, penari Seblang mencapai puncak
orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi kelelahan dan kemudian terkulai
pingsan ....
Tetapi ajaib, begitu lagu "Erang-erang"
berkumandang, secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan
membangkitkan kembali sang penari dari pingsannya. Menurut beberapa
sumber, membangkitkan kembali dari pingsannya adalah pekerjaan sulit
bagi "Pengutuk" (pawang) yang merupakan mediator dengan mahluk halus
tersebut. Harus dilakukan extra hati-hati, karena merupakan pekerjaan
yang sulit dan berbahaya. Khabarnya jika tidak berhasil maka sang penari
bisa kehilangan nyawa.
Akhirnya ketika Matahari nyaris lenyap di
balik Pegunungan Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi :
"Sampun Mbah Ktut sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh".
Artinya kurang lebih demikian : "Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah
berakhir, pengunjung sudah akan pulang". Begitu usai diulang-ulang
sebayak 10 (sepuluh) kali, sang penari Seblang tampak sadar kembali
layaknya orang bangun dari tidurnya. Terbersit raut kebingungan di rona
penari. Sesekali ia menyingkap rumbai-rumbai daun yang menatap wajahnya,
Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya ia harus bertugas
menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.
Menonton Seblang di
Olehsari tahun ini, ada satu hal yang sangat menarik. Seperti diketahui,
prosesi penunjukkan kandidat penari Seblang juga tak luput dari aspek
kekuatan supranatural. Setiap bulan puasa menjelang hari raya Lebaran,
gergiliran salah satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia 30 (tiga
puluh) tahun ketas kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang
diluar kesadarannya menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu
berarti Wiwin adalah anak perawan yang tiba bergiliran menjadi penari
Seblang tahun ini.
Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang ditunjuk oleh
Roh Halus sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia.
Mengapa sampai demikian ? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ?
Seorang pemuda yang saya temui di arena pertunjukkan mengatakan :
"Wiwin, heng oleh ambi sir-siranek !!". "Wiwin tidak boleh (menari) sama
pacarnya" demikian ujarnya sambil menikmati pertunjukan Seblang.
Semenjak
dahulu, penari Seblang selalu memiliki garis keturunan dengan
penari-penari Seblang sebelumnya. Sehingga, karena warga takut dengan
batalnya acara sakral tersebut, Salwati (yang masih bersaudara dengan
Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh kesadaran Salwati akhirnya
bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidak sediaan WIwin sebagai
penari tahun ini, seorang tetua mengatakan : "Kadung ono paran-paran,
ison heng ero jawanek !!" Artinya : "Jika ternyata terjadi sesuatu,
saya tidak tahu menahu !!' Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin
mengalami "Stress dan depresi yang aneh".
Lagi Perbedaan dengan Seblang Bakungan
Secara
awam jika kita perhatikan sepintas, prosesi penyelenggaraan Seblang di
Bakungan tidaklah jauh berbeda dengan di Olehsari. Meskipun jelas banyak
sekali terdapat perbedaan jika kita tinjau lebih mendalam.
Di
Bakungan persiapan Seblang dimulai dengan mempersiapkan sesaji dan
membersihkan benda-benda pusaka di "Balai Tajuk". Disusul dengan pawai
obor "Ider bumi" dengan mengumandangkan Adzan, Istigfar dan doa Qunut.
Tak ketinggalan "selamatan kampung" dengan sajian berupa Nasi Putih
dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa dengan sayuran
terung, pakis dan kacang panjang yang tidak boleh dipotong-potong.
Waktu
penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga)
hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari
diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di
Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib
sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum'at pertama
bulan Haji (Besar).
Penunjukkan Siapa bakal penari Seblang di
Kelurahan Bakungan dilakukan atas dasar 'wisik gaib' yang diterima Sang
Pawang, bukan lewat seorang ibu setengah baya yang kesurupan
sepertihalnya di Desa Olehsari. Dan penari Seblang di Bakungan dilakukan
oleh seorang janda tua, bukan seorang anak perawan yang baru akil
balik.
Beberapa hal yang berbeda lagi antara keduanya adalah
mengenai "Omprok" (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan Bakungan, Omprok
penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan di Desa
Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab bahannya
terbuat dari daun pisang yang cepat layu.
Sedangkan untuk
instrumen musik pendukung pada Seblang Bakungan menggunakan perangkat
Gamelan Jawa laras Selendro dan terkadang ditambahkan Biola. namun
berlainan dengan di Olehsari yang mempergunakan 'Instrumen banyuwangi'
yang terdiri dari : Kendang, Gong, Peking, Slenthem dan Biola.
Kemudian
karena penari Seblang di Bakungan menari dengan membawa keris yang
terhunus, sehingga di acara penutup terdapat prosesi "Manjer Keling"
yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua Keris yang dipegangnya.
Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.