Makalah mangrove 55
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan (Rimbawan, 1995; Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Sebagian besar garis pantai perairan Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan tropis atau hutan mangrove, kadang-kadang terbentuk pantai yang berbatasan dengan pasir berbatu atua karang lunak dan terletak di belakang pinggiran terumbu karang, terutama di dekat muara sungai (Saparinto, 2007).
Kawasan hutan mangrove di daerah Cilacap, Kabupaten Cilacap termasuk dalam gelombang pasang jenis pasang surut ganda campuran, yaitu gelombang pasang yang dapat terjadi dua kali dalam sehari. Kehidupan masyarakat petani garam (masyarakat pesisir) di daerah Cilacap sangat jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pesisir di sebagian daratan Jawa lainya dalam kaitannya dengan rehabilitasi hutan mangrove. Di mana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang telah terjadi dilakukan atas perintah dari atas. Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya komando atau rencana itu senantiasa datangnya dari atas, sedangkan bawahan termasuk masyarakat sebagai ujung tombak pelaksanaan proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer top-down approach (pendekatan dari atas ke bawah) Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove di Cilacap dilakukan oleh masyarakat petani garam secara swadaya tanpa adanya perhatian ataupun bantuan dari pemerintah, pola rehabilitasi ini lebih dikenal dengan istilah bottom-up approach (pendekatan dari bawah ke atas).
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin “Bakau” adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggian laut. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).
Selanjutnya Saparinto (2007) mengungkapkan hutan mangrove mempunyai 3 fungsi utama bagi kelestarian sumber daya yakni fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak. Menurunnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir dapat dilihat dari luas hutan mangrove Indonesia yang diperkirakan 4,25 juta ha saat ini hanya tinggal 2,5 juta ha.
Sumber daya ekosistem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat terbaharui (renewable resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengelolaan yang lestari. Mangrove menghendaki lingkungan tempat tumbuh yang agak ekstrim yaitu membutuhkan air asin (salinitas air), berlumpur dan selalu tergenang, yaitu di daerah yang berbeda dalam jangkauan pasang surut seperti di daerah delta. (Irwan, 2007). Selain itu, sumber daya mangrove juga mempunyai beberapa peran baik secara fisik, biologi maupun kimia yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir diantaranya: 1) sebagai pelindung dan penahan pantai; 2) sebagai penghasil bahan organik; 3) sebagai habitat fauna mangrove; dan 4) sebagai kawasan pariwisata dan konservasi. Pemanfaatan hutan mangrove secara rasional bagi pertanian, pertambakan atau kepentingan lain hendaknya mencakup unsur-unsur selektif, preservasi, konservasi dan efisiensi.
Selain ekosistem mangrove di wilayah pesisir terdapat juga ekosistem lain, baik yang bersifat alami (natural) maupun butanan (manmade). Ekosistem alami yaitu terumbukarang (coral reefs), padang lamun (sea grass bed), pantai pasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, perkebunan, kawasan pariwisata, industri dan pemukiman, (Saparinto, 2007).
B. Tujuan.
1. Menjelaskan ciri hutan mangrove
2. Menjelaskan peranan dan fungsi hutan mangrove.
3. Mendeskripsikan kerusakan hutan mangrove Di Pantai Pondok Bali Kabupaten Subang
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hutan mangrove?
2. Apa peranan dan fungsi hutan mangrove?
3. Mengapa terjadi kerusakan hutan mangrove?
BAB II PENJELASAN
Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum, 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan kata umum yang dipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Karsten (1980 dalam Chapman, 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, pedanan yang digunakan untuk Mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya.
Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah 'mangrove' digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya.
Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat didaerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizopora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002) mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin “Bakau” adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggian laut. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).
A. Karakteristik Hutan Mangrove
Bakau adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang (Jw.); tinjang (Md.); bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lain-lain. Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans.
B. Peranan dan Fungsi Hutan Mangrove
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.
Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik.
Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove
Menurut Suryanto (2007) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan mangrove baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:
1. Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
2. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
3. Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan dikembangkan untuk tempat wisata alam.
4. Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan menghindari penurunan luasan pantai secara drastis.
Sebagai perisai hidup. Apabila terjadi bencana gelombang tsunami, sehingga sekalipun tertimpa musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah seperti yang terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove
C. Hutan Mangrove di Daerah Cilacap Jawa Tengah
Secara garis besar Kabupaten Subang mempunyai garis pantai sepanjang 68 km yang membentang mulai dari sebelah utara Kecamaan Blanakan hingga Kecamatan Pusakanegara. Salah satu bagian dari pantai utara kabupaten Subang adalah Pantai Pondok Bali.
Pantai Pondok Bali merupakan Kawasan Wisata andalan di Kabupaten Subang yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pendapatan asli daerah. Pada saat ini pantai Pondok Bali mengalami erosi yang cukup parah akibat adanya bangunan-bangunan pantai yang ada di sekitar kawasan pantai tersebut.
Gelombang signifikan yang tertinggi adalah sebesar 0,79 meter dengan perioda sebesar 6,01 detik datang dari arah barat laut.Gelombang ekstrim tertinggi sebesar 1,03 meter untuk perioda ulang 100 tahun. Hasil perhitungan sedimen sejajar pantai untuk pantai Pondok Bali adalah sebesar 8.663 m3 /tahun (dari arah Timur). Dari hasil perhitungan dengan metoda Pelnard Conidere diperkirakan pantai Pondokbali masih akan mengalami erosi selama 15,72 tahun. Untuk menanggulangi kerusakan hutan bakau yang tererosi, disarankan membangun Breakwater yang berfungsi untuk meredam gelombang, sehingga memberikan kesempatan kepada tanaman bakau untuk tumbuh dan berkembang.
Hutan bakau, yang berada di pesisir pantai utara (pantura) Subang, kondisinya sangat memprihatinkan. Kerimbunan pepohonan di pantai sudah menjadi pemandangan langka. Padahal, hutan bakau sangat diperlukan untuk pelestarian lingkungan, khususnya melindungi pantai dan menahan abrasi. Demikian pula, tanaman yang ada di kawasan tambak yang menjadi garapan pemerintah daerah, tidak sedikit yang mati dan hilang.
Salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Lestaridi Desa/Kecamatan Blanakan, Subang, H. Karya Zakaria, yang ditemui di lokasi pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) Blanakan mengakui bila kondisi hutan bakau Kabupaten Subang yang dikelola Perum Perhutani ataupun di luar kawasan hutan semakin berkurang. "Memang, banyak faktor yang memengaruhi, salah satu di antaranya keberadaan kita sebagai LMHD belum jelas, "ujarnya.
Dijelaskan, dari sekian ribu hektare luas kawasan hutan bakau diperkirakan +63%-nya kurang berperan optimal sesuai dengan fungsi. Kondisi yang memprihatinkan itu, menurut dia, disebabkan oleh faktor alam yang menyebabkan gagalnya rehabilitasi dan faktor-faktor yang bersifat sosial, khususnya berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan bakau yang sangat tinggi. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dari aparat Perum Perhutani tentang sistem PHBM, juga memberikan andil terhadap rusaknya hutan bakau.
Keberadaan 15 LMDH yang telah terbentuk sejak 2004 dan telah siap untuk mendukung kemajuan PHBM di BKPH Pamanukan tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan kawasan hutan bakau. Yang sangat menyedihkan, LMDH dibuat tidak berfungsi sehingga menimbulkan sikap acuh tak acuh terhadap keberadaan hutan bakau tersebut. Pelaku perencekan dahan dan penebangan saja sudah tidak dihiraukan lagi.
Kebid Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kab.Subang Ir. Engkos Kosasih, kondisi hutan di pesisir pantura ada yang perlu dibenahi. "Luas areal yang menjadi garapan kami berada di luar kawasan hutan mencapai 2.090 hektare dan tersebar di wilayah Blanakan, Pusakanagara, Pamanukan, dan Legon Kulon.
Disebutkan, kendala dalam pegelolaan bakau memang cukup sulit karena sering kali ketika datang program tidak tepat waktu. Hal itu belum lagi jika mempertimbangkan gangguan dari ternak, khususnya domba, ataupun banjir yang membuat bibit yang baru ditanam menjadi rusak dan busuk. Untuk ke depan, bila APBD Subang ataupun yang lebih atas tersedia, sebaiknya yang ditanam tidak dari bibit, tetapi pohon yang belum jadi atau propagul bakau.
Asper/KBKPH Pamanukan kawasan hutan bakau di wilayah kerjanya mencapai luas 7.040,15 hektare, didominasi oleh tanaman bakau-bakau dan api-api yang manfaatnya sangat penting bagi masyarakat sekitar kawasan. di beberapa titik ada yang terganggu dan itu bukan hanya sekarang, tetapi sudah sejak puluhan tahun silam.
Sejak dekade 1960-an keberadaan hutan bakau telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar menjadi empang parit, yaitu dengan sistem sylvofishery (kawasan berhutan 80% dan 20%-nya dijadikan kawasan budi daya ikan dan udang) karena sebagai hutan produksi.
Kemudian, pada 2003 kelas hutan bakau tersebut berubah fungsi menjadi hutan lindung sesuai dengan SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003. Dengan adanya perubahan fungsi hutan dan permasalahan kondisi hutan saat ini, maka Perum Perhutani mempunyai kewajiban untuk mengembalikan fungsi hutan bakau sesuai dengan peruntukannya.
BAB III KESIMPULAN
Hutan mangrove adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku Rhizophoraceae dan tumbuhan Avicenia. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang (Jw.); tinjang (Md.); bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lain-lain
Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Hutan Bakau (mangrove) ikut terdegradasi.
Mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya :
- Kayu bakar :arang, alkohol bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar);
- Alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak).
- Tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan.
- Minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka).
- Peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut).
- Pertanian (pupuk hijau).
- Chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal Irwan, Zoer’aini. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b. Sylvofishery, budidaya tambak-mangrove terpadu. Majalah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Perhutani, 1993. Pelaksanaan program perhutanan sosial dengan sistem sylvofishery pada kawasan hutan payau di pulau Jawa. Direksi Perum Perhutani, Jakarta.
Saparinto, Cahyo (2007). Pendayagunaan Ekosistem Mangrove, Semarang: Dahara Prize
Sudarmadji. (2001). Rehabilitasi Hutan Mangrove Dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu DASAR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2001. Jember: Universitas Jember.
Soerianegara, I dan Indrawan (1982). Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kopkar Hutan, Jakarta
http://rudyct.com/PPS702-ipb/07134/agus_nuryanto.htm
http://www.koranbekasi.com/2008/07/21/melihat-hutan-mangrove-kota-tarakan/
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41840
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbsi-gdl-s2-2005-rusli-49
http://122.200.145.230/index.php?mib=news.detail&id=85606
demicintakupadamu@gmail.com
sumber